Frankenstein, Sebuah Kisah Tentang Kepongahan dan Kekuasaan

Rab, 20 Mei 2020 pukul 18.00

Ketika musim panas 2016 berakhir, kita menandai ulang tahun ke-200 kelahiran salah satu novel paling terkenal dalam bahasa Inggris, sebuah karya yang juga mengisahkan penciptaan karakter yang barangkali paling menyeramkan dalam sastra Inggris. Bagaimana kisah itu muncul tak kalah luar biasanya dari buku itu sendiri, sebuah penilaian yang semakin layak disimak berkat fakta bahwa sebagian besar dari kita sejak lama salah tentang identitas monster itu.

 

Tentu saja yang dimaksud adalah Frankenstein karya Mary Shelley, sebuah kisah yang diceritakan dan diceritakan kembali sampai tak terhitung lagi dalam novel dan buku-buku komik, di panggung dan layar, dan di ruang kelas serta lingkaran api unggun di seluruh dunia. Kisah itu bermula pada sebuah pertemuan orang-orang luar biasa di sebuah rumah danau di Swiss. Pertemuan yang berlangsung karena salah satu bencana terbesar dalam sejarah manusia.

 

Peristiwa bencana ini adalah letusan—atau lebih tepatnya ledakan—Gunung Tambora di Hindia Timur Belanda—sekarang Indonesia. Pada 10 April 1815, gunung api itu memuntahkan sekitar 36 kubik mil (150 km 3) abu vulkanik ke atmosfer Bumi, yang terbesar dalam catatan sejarah.

 

Letusan Gunung Tambora menghasilkan sebuah musim panas yang luar biasa dingin, gelap, dan basah, menjadikan aktivitas di luar rumah tidak menarik. Maka kelompok Danau Jenewa itu tetap di dalam ruangan, bergantian membaca sebuah kumpulan kisah hantu Jerman. Setelah menyelesaikan buku itu mereka kebingungan mau melakukan apa lagi, Byron pun menantang masing-masing anggota kelompok mengarang cerita hantu mereka sendiri dan menceritakannya kepada yang lain.

 

Menerima tantangan itu, Polidori menghasilkan cerita vampir yang pertama kali diterbitkan di dunia, melahirkan sebuah genre yang kelak meliputi kisah-kisah Count Dracula. Mary, celakanya, mengalami kebuntuan menulis. Akhirnya sebuah ide menghampirinya dalam suatu mimpi tentang penemuan-penemuan ilmuwan Italia Luigi Galvani, yang menunjukkan bahwa listrik bisa menyebabkan otot kaki katak yang mati kejang-kejang.

 

Maka lahirlah Frankenstein, yang awalnya diniatkan sebagai sebuah cerita pendek. Tetapi ketika Mary menggarapnya selama sisa tahun itu dan di tahun berikutnya, cerita berkembang menjadi apa yang kadang-kadang dianggap sebagai novel fiksi ilmiah pertama.

 

Buku itu diterbitkan dua tahun setelah musim panas muram 1816 itu dengan judul “Frankenstein: atau, Prometheus Modern, merujuk pada titan Yunani yang mencuri api dari para dewa dan memberikannya kepada manusia dan karena itulah dirantai pada sebuah karang di mana seekor elang memakan hatinya setiap hari.

 

Hampir semua orang menganggap bahwa monster dalam "Frankenstein” adalah Frankenstein's monster. Ini salah dalam dua hal. 

 

Pertama, makhluk setinggi dua setengah meter yang dirangkai Victor Frankenstein dari organ-organ mayat dan kemudian disetrum sampai hidup itu tidak dinamakan Frankenstein. Bahkan, makhluk itu sama sekali tidak punya nama. Frankenstein hanya menyebutnya sebagai monster, makhluk, setan, hantu, atau cuma “itu”.

 

Yang lebih penting, monster sesungguhnya dalam Frankenstein bukanlah makhluk itu melainkan sang pencipta, Victor Frankenstein. Dia bermaksud menciptakan spesies baru, bukan demi kemaslahatan dunia, melainkan untuk mengagungkan diri sendiri.

 

Dia menampilkan diri sebagai seorang filantropis, tetapi sesungguhnya dia adalah orang paling egois. Dia bekerja dengan heroik menyelesaikan misinya, sampai-sampai tidak memperdulikan hal lain, tetapi pada saat ciptaannya pertama kali bergerak-gerak, dia mendapati bahwa dia tidak sanggup melihatnya.

 

Makhluk itu—cerdas dan sensitif—dibiarkan sendirian. Dia mendambakan teman, tetapi penampilannya cuma mendatangkan dua respons: lari atau berkelahi. Dia memimpikan hubungan dengan penciptanya, tetapi Victor tidak sudi berurusan dengannya.

 

Ditolak dan dicaci maki siapa saja yang dijumpainya, makhluk itu akhirnya mengamuk, membunuh saudara Victor, sahabatnya dan, pada bulan madu mereka, isterinya. Makhluk itu berkata kepadanya, “Mestinya aku adalah Adam-mu, tetapi nyatanya aku adalah malaikat terbuang.”

 

Frankenstein jauh dari sekadar cerita monster. Inilah kisah tentang kepongahan miskin cinta, arogansi seorang ilmuwan yang begitu terobsesi dengan kekuasaannya hingga dia berusaha menjadikan dirinya dewa. 

 

Seperti Mary Shelley, yang tidak hanya besar tanpa ibu tetapi juga menyalahkan diri atas kematian ibunya, makhluk itu tidak punya ibu, tidak punya siapa-siapa yang mencintainya. Penderitaan ini membuatnya menjadi setan, dan ketika kerinduan tak berbalasnya berubah menjadi benci, dia melampiaskan amuk pada penciptanya. Memperoleh kemampuan untuk melakukan hal-hal layaknya dewa tidak membuat kita menjadi dewa, apalagi ketika tak ada cinta.

 

Ada banyak sekali hal dalam novel Frankenstein yang bisa diceritakan di sini. Ada cerita tentang Elizabeth, anak yatim yang dibesarkan di rumah Frankenstein dan akhirnya menjadi istri Victor.

 

Ada penjelasan tentang pendidikan Victor, yang beranjak dari studi ilmu-ilmu alam menuju dorongan tak terbendung untuk menciptakan jenis manusia baru dan lebih baik.

 

Dan ada struktur novel itu sendiri—berbentuk seperti surat-menyurat (epistolary)—yang ditulis oleh Robert Walton, seorang penulis gagal yang pergi mencari kemasyhuran dengan menjelajahi Kutub Utara beku demi memburu si monster. Di kutub Walton berjumpa dengan Victor yang hampir mati.

 

Andaikan tidak terdokumentasi sedemikian cermat, kisah penciptaan “Frankenstein” tentu tidak akan dipercaya. Sebuah malapetaka tiada bandingannya di belahan lain bola dunia menyediakan pentas bagi berkumpulnya para raksasa sastra ketika seorang perempuan 18 tahun pertama kali mengarang kisah ganjil namun abadi tentang arogansi manusia yang diumbar. 

 

Walaupun mahakarya Mary Shelley merupakan salah satu karya paling tak terlupakan dalam sastra dunia, kisah yang diceritakan sama sekali tidak menenggelamkan cerita luar biasa di balik penciptaannya. 

 

Sumber: artikel asli 

Komentar

Loading