Apakah J-Pop Kalah Saing dari K-Pop?

Sab, 16 Mei 2020 pukul 19.37

Terminologi J-Pop dipopulerkan oleh Komuro Tetsuya—penyanyi, penulis lagu, juga produser musik kenamaan di Jepang—pada awal 1990-an. Pengertian J-Pop mulanya merujuk pada jenis musik bertempo cepat hasil fusi komposisi Jepang dan elemen Barat. Namun kemudian istilah ini digunakan untuk semua musik populer yang menduduki tangga lagu Jepang, Oricon Chart, termasuk idol-pop, R&B, hip hop, soft rock, bahkan folk. 

 

Pada awal dekade ‘90-an itu, J-Pop tumbuh pesat dan digandrungi anak muda di banyak negara Asia seperti Hongkong, China, Taiwan, Korea Selatan, Singapura, Malaysia, termasuk Indonesia. Kita sempat mengenal Ayumi Hamasaki (Ayu) si Ratu Pop Jepang yang menyanyikan soundtrack Inuyasha; idol group besutan Johnny’s & Associates (disebut juga Johnny’s Entertainment, JE) sebelum Arashi, SMAP; salah satu idol grup perempuan generasi pertama yang paling sukses, Speed; hingga Utada Hikaru yang terkenal dengan lagu First Love-nya. 

 

Popularitas J-Pop pada masa itu bukan cuma karena musiknya yang menggabungkan elemen Barat dengan sentuhan Jepang, tapi juga image dari sang idol. Sebelum memulai debut, para calon idol tak hanya dilatih bernyanyi tapi juga menari, akting, berbicara, hingga soal fesyen. Alhasil mereka bisa tampil di berbagai event, mulai acara musik, berakting di dorama, atau ikut dalam reality show. 

 

Keberhasilan sistem idol yang menjual suara, tampang rupawan, dan citra sebagai sosok ‘sempurna’ namun bisa dicapai oleh para fans di awal tahun ‘90an inilah yang kemudian membawa J-Pop hampir merajai pangsa musik Asia. Sembari mempopulerkan musiknya melalui dorama atau anime, industri hiburan Jepang juga mengadakan ajang pencarian bakat untuk menjadi idol Jepang melalui program Asia Bagus atau Star Tanjou

 

Japan idol boom tak bertahan lama. Menurut Sarah Brand, mulai 1997 banyak perusahaan musik besar Jepang kembali fokus ke pasar domestiknya alih-alih memperkuat pengaruh di Asia atau global. Alasannya adalah persoalan hak cipta dan profit. 

 

Meski digandrungi di berbagai negara di Asia, lebih dari 70 persen keuntungan industri musik Jepang berasal dari pasar domestik mereka sendiri.

 

Hal tersebut diamini oleh Hiroaki Kato, musikus Jepang yang kini berkarier di Indonesia. Alasannya sangat sederhana dan ini satu-satunya alasan, yaitu karena penjualan CD, DVD, dan format fisik lainnya masih digandrungi di Jepang. Menurut Hiroaki, hal tersebut diyakini sebagai bentuk apresiasi dan dukungan nyata penggemar untuk para idola mereka. 

 

Laba J-Pop dari pasar Asia itu dianggap tak sepadan dengan energi yang dikeluarkan untuk menghindari pembajakan dan melindungi hak cipta para artis. Sebab berbeda dengan negara lain, Jepang sangat anti-pembajakan dan fokus terhadap perlindungan hak cipta. 

 

Upaya menegakkan aturan ini cukup sulit, mahal, dan menyedot energi besar untuk dilakukan di negara lain di luar Jepang. Dalam menjalankan bisnisnya itu, perusahaan rekaman Jepang kemudian berusaha mengambil kendali atas proses produksi musik di negara-negara lain. 

 

Meski negara-negara lain juga memiliki aturan soal hak cipta dan pembajakan, namun tak ada yang seaktif Jepang dalam menegakkan aturan tersebut. Pembajakan musik semakin mudah dan marak setelah format CD mulai dikenal, disusul kemudian tren internet yang sulit dikontrol.

 

Di sisi lain, industri musik Korea Selatan justru mengikuti model bisnis Johnny’s Entertainment dan mulai melahirkan idol group seperti H.O.T, Sechskies, G.O.D, Fin.K.L, dan Baby Vox.

 

Tak seperti Jepang, industri musik Korea lebih santai dalam menanggapi persoalan hak cipta dan pembajakan. Mereka justru melihat internet, cover lagu, dan cover tarian sebagai jalan untuk mengenalkan dan membaurkan musik mereka di mana-mana.

 

Industri musik Korea Selatan bahkan jauh lebih dalam memanfaatkan YouTube, media sosial, dan kanal-kanal digital untuk semakin mendekatkan idol terhadap para penggemarnya. Para penggemar K-Pop di mana pun bisa dengan mudah menonton idola mereka, memberi komentar di akun media sosial, dan beragam interaksi lainnya yang memanfaatkan teknologi digital (dig intimacy). 

 

Pemanfaatan internet memang bukan sesuatu yang menguntungkan dalam jangka pendek, membuat distributor musik J-Pop justru menjaga jarak dengan teknologi digital. Lihat saja berapa banyak idol group atau artis J-Pop yang aktif bermedia sosial, memiliki akun YouTube resmi, dan sebagainya. Tapi bagi perusahaan hiburan Korea Selatan, internet adalah alat pemasaran gratis nan efektif.

 

Tak cuma ketatnya upaya melindungi hak cipta dan cenderung menghindari dunia internet yang tak terkontrol, secara tak kasat mata Jepang memiliki latar sejarah yang pelik. Pada masa Perang Dunia II, Jepang dikenal sebagai salah satu negeri penjajah di Asia. Hal tersebut membuat beberapa negara, seperti Korea Selatan, sempat mengeluarkan larangan terhadap berbagai produk budaya Jepang hingga pertengahan dekade 1990 an. 

 

Latar sejarah pelik itu tak dimiliki oleh Korea Selatan sehingga pemerintah Korea Selatan bisa dengan leluasa mendorong industri hiburannya sekuat tenaga. Mereka tak memiliki beban sejarah seperti yang dihadapi pemerintah Jepang. 

 

Lalu, apakah kehadiran Arashi boleh dibilang terlambat untuk kembali memperkenalkan J-Pop ke dunia di tengah K-Pop yang sudah merajalela? 

 

Sumber: artikel asli

Komentar

Loading